Dynamic Blinkie Text Generator at TextSpace.net

Senin, 30 November 2009

KULTUR JARINGAN TANAMAN AKASIA (Acacia sp.)

ABSTRAKSI

Fuji Lestari. K 4207061. Pendidikan Diploma 4 Kultur Jaringan Tanaman. Perbanyakan Tanaman Akasia (Acacia sp) Melalui Teknik In Vitro di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta. Dibawah bimbingan Ir. Asri Insiana Putri, MP dan Ir. Etty Ekawati, MP.

Akasia (Acasia sp.) merupakan tanaman yang mampu tumbuh pada tanah berbatu serta kayunya dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Tanaman jati dan akasia ini biasanya diperbanyak melalui perbanyakan secara generatif, yaitu dengan menggunakan biji, atau diperbanyak melalui perbanyakan secara vegetatif, yaitu dengan mencangkok dan stek. Namun untuk menanggapi permintaan pasar yang semakin meningkat tersebut, perbanyakan dengan cara konvensional tidaklah efektif untuk mendapatkan bibit yang unggul dan seragam dalam waktu yang relatif singkat. Kegiatan ini dilakukan di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta yang beralamat di Jalan Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta dari tanggal 1 Desember 2008 sampai 4 Februari 2009. Metode yang dilakukan yaitu dengan cara orientasi, observasi, adaptasi dan pelaksanaan PKL.

Komposisi media kultur jaringan Akasia (Acasia sp.) menggunakan kompsisi media MS (Murashige dan Skoog) yang digunakan untuk inisiasi dan multiplikasi dan ditambah dengan Zat Pengatur Tumbuh. Penyiapan eksplan dari lapangan diambil berupa pucuk tunas akasia sekitar umur 1,5 tahun (masa juvenil dari ranting buku kedua dan ketiga dengan panjang eksplan sekitar 2-3 cm). Sterilisasi diluar laminar, menggosok-gosok eksplan satu per satu secara perlahan dengan menggunakan spon atau kuas, rendam dalam larutan fungisida 2 gram/100 ml selama 30 menit, bilas dan rendam lagi dalam larutan fungisida selama 30 menit, direndam kembali pada larutan detergen sambil diputar pada stirrer selama 15 menit, membilasnya pada air mengalir. Setelah sterilisasi di luar laminar eksplan akasia dibawa ke dalam laminar untuk disterilisasi lagi. Eksplan akasia disterilisasi lagi dengan merendamnya dalam larutan sublimat 0,1% selama 15 menit, bilas dengan air destilata steril sebanyak 3 kali, rendam kembali pada larutan alkohol 70 % selama 1 - 3 menit, bilas dengan air destilata steril 3 kali, tiriskan. Inisiasi merupakan tahap penanaman eksplan yang sudah disterilisasi kemudian ditanamkan dalam media kultur. Aklimatisasi adalah proses pengkondisian planlet atau tunas mikro (jika pengakaran dilakukan secara ex vitro) di lingkungan baru yang aseptik di luar botol, dengan media tanah, atau pakis sehingga planlet dapat bertahan dan terus menjadi bibit yang siap ditanam di lapangan. digunakan yaitu baki, pinset, kuas, fungsisida, air mengalir, planlet cendana dan media campuran (tanah top soil, pupuk kandang/kompos), dan pasir lalu membuat larutan fungsida dengan dosis 1 gram/liter.

I . PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Akasia (Acasia sp.) merupakan tanaman yang mampu tumbuh dengan cepat pada tanah marginal serta kayunya dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Akasia merupakan tanaman kayu yang dapat mencapai diameter cukup besar apabila telah mencapai umur tertentu. Tanaman akasia dapat tumbuh pada sebaran kondisi iklim yang sangat luas, dengan demikian dapat tumbuh dengan baik, hampir disembarang tempat. Sebagai salah satu tanaman yang cepat tumbuh, tanaman akasia telah banyak tersebar diseluruh pulau di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, karena pohon akasia merupakan pohon yang serba guna mulai daun hingga perakarannya dapat dimanfaatkan untuk beragam keperluan.

Penyediaan bibit dilakukan dengan dua cara, melalui perbanyakan secara generatif dan vegetatif, perbanyakan generatif mempunyai kelemahan diantaranya adalah beberapa jenis spesis tidak berbunga pada saat yang di perlukan.

Bagian yang memberikan manfaat yang paling besar dari pohon akasia adalah batang kayunya. Dengan harga yang cukup menggiurkan saat ini akasia banyak diusahakan untuk berbagai keperluan dalam bentuk kayu olahan berupa papan papan dengan ukuran tertentu sebagai bahan baku pembuat peti, papan penyekat, pengecoran semen dalam kontruksi, papan partikel dan bahan baku industri kertas.

Berdasarkan pada beberapa keistimewaan itulah tanaman akasia dapat dijadikan sebagai tanaman penghijauan atau sebagai sumber usaha yang cukup menjanjikan. Lebih penting lagi, kayu tanaman akasia memiliki nilai ekonomis tinggi.

Kayu akasia memiliki prospek pasar yang cukup tinggi. Permintaannya bukan hanya di dalam negeri, namun juga datang dari mancanegara. Kayu ini dipergunakan antara lain untuk bahan bangunan, peralatan rumah tangga, sampai pada bahan baku lapis. Menurut Atmosuseno (1998) dalam Hartati, (2006), kayu akasia memberi kontribusi sebesar 30% dari total konsumsi kayu di Jawa yang pada tahun 1995 mencapai 0,15 m3/kapita/tahun. Perum Perhutani hanya mampu melayani 5% dari seluruh kebutuhan kayu di Jawa. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan produtifitas tanaman tersebut baik secara kualitas maupun kuantitas.

Hal tersebut tentunya memberikan peluang dan tantangan besar khususnya bagi para pengusaha kayu khususnya di Indonesia untuk mengupayakan pemuliaan dan pembenihan akasia yang mengarah pada peningkatan kualitas dan produksi dengan dihasilkanya bibit yang berkualitas, seragam dan stabil.

Pada umumnya tanaman akasia diperbanyak melalui perbanyakan secara generatif, yaitu dengan menggunakan biji, atau diperbanyakan melalaui perbanyakan secara vegetatif, yaitu dengan mencangkok, stek, dll. Namun untuk menanggapi permintaan pasar yang semakin meningkat tersebut, perbanyakan dengan cara konvensional tersebut tidaklah efektif untuk mendapatkan bibit yang unggul dan seragam dalam waktu yang relatif singkat. Kendala-kendala yang dihadapi dalam perbanyakan secara konvensional diantaranya membutuhkan waktu yang cukup lama dalam pengadaan bibit dari mulai benih hingga menghasilkan biji kembali, selain itu dari segi genetik, kualitas bibit yang dihasilkan belum diketahui secara pasti dan tidak seragam. Namun seiring dengan kemajuan teknologi saat ini, teknik kultur jaringan merupakan alternatif dalam perbanyakan tanaman akasia.

Perbanyakan tanaman dengan kultur in vitro atau yang sering disebut dengan kultur jaringan telah banyak diusahakan secara komersial di negara maju seperti Amerika, Jepang, dan Eropa. Pemanfaatan teknologi tersebut untuk pengadaan bibit pada awalnya berdasarkan hasil percobaan Morel tahun 1960 pada anggrek Cymbidium. Dalam waktu yang singkat dari bahan tanaman yang sangat terbatas dapat dihasilkan bibit dalam jumlah yang banyak. Keberhasilan tersebut mendorong dimanfaatkannya in vitro sebagai teknologi perbanyakan yang banyak memberikan keunggulan daripada teknologi konvensional.

Pada prinsipnya kultur jaringan terdiri dari dua kegiatan utama, yang pertama yaitu mengisolasi atau memisahkan bagian tanaman dari tanaman induk dan yang ke dua yaitu menumbuhkan dan mengembangkan bagian tanaman tersebut didalam media yang kondisinya steril dan mampu mendorong pertumbuhan bagian tanaman menjadi tanaman yang sempurna. Melalui teknik ini, sel atau jaringan tanaman yang diisolasi dari bagian tanaman induk, seperti protoplasma, sel atau sekelompok sel, yang selanjutnya disebut eksplan, distimulasi untuk membentuk tanaman secara utuh menggunakan media dan lingkungan tumbuh yang sesuai (Gunawan, 1992).

Kultur jaringan memiliki beberapa keuntungan yaitu untuk memperbanyak tanaman tertentu yang sulit atau lambat diperbanyak secara konvensional, memerlukan waktu yang singkat untuk mendapatkan bibit yang banyak, tidak memerlukan tempat yang luas, dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa tergantung musim, bibit yang dihasilkan lebih sehat dan memungkinkan dilakukannya manipulasi genetik (Yusnita, 2004), sehingga untuk perbanyakan tanaman akasia, teknik kultur jaringan merupakan teknik yang paling menjanjikan untuk mendapatkan bibit akasia yang dapat diperbanyak setiap waktu sesuai kebutuhan yang berkualitas, yang mampu bersaing di pasaran.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari kegiatan ini adalah :

a. Meningkatkan profesionalisme dari mahasiswa.

b. Memberikan bekal keterampilan kerja dan pengalaman yang riil di lapangan.

c. Mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh selama kuliah pada tahun pertama.

d. Sebagai pemenuhan persyaratan akademik.

1.3. Sasaran

Setelah melaksanakan kegiatan, diharapkan mahasiswa :

a. Berpengalaman dalam kegiatan pembelajaran di industri yang relevan.

b. Dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh selama kuliah pada tahun pertama.

c. Dapat melengkapi dan mengembangkan materi-materi dasar yang telah dipelajari.

d. Dapat memenuhi persyaratan akademik.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kultur jaringan

2.1.1. Pengertian

Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara vegetatif. Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril.

Menurut Sriyanti dan Wijayani (1994), kultur adalah budidaya dan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama, sehingga kultur jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti induknya.

Santoso dan Nursandi (2002) menganggap Cultur in vitro mengandung arti yang lebih bersifat umum dan luas tentang berbagai budidaya yang dilakukan secara in vitro, di dalamnya termasuk kultur jaringan yaitu budidaya in vitro yang menggunakan jaringan sebagai bahan tanamnya.

2.1.2. Keunggulan

Menurut Santoso dan Nursandi (2002), kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain :

a. Mengatasi perbanyakan tanaman yang presentase perkecambahan bijinya rendah .

b. Mengatasi perbanyakan tanaman yang sulit membentuk biji baik akibat adanya sifat inkompatibilitas, kedudukan alat kelamin yang menyulitkan fertilisasi dan pembuahan atau bahkan steril, padahal perbanyakan vegetatifnya rendah.

c. Memperpendek waktu perbanyakan tanaman yang masa reproduksinya membutuhkan waktu yang panjang .

d. Mempermudah dan mempercepat upaya penyelamatan tanaman yang terancam punah, sedang perbanyakan yang umum sulit dilakukan dan memerlukan waktu yang lama.

e. Dapat digunakan untuk mendapatkan tanaman yang bebas dan bahkan tahan terhadap serangan bakteri dan virus.

2.1.3. Bahan Tanaman (Eksplan)

Menurut Santoso dan Nursandi (2002), bahan tanam yang sementara ini umum di gunakan dalam kegiatan kultur jaringan dan sering terbukti dapat tumbuh dan berkembang, adalah :

a. Sel, biasanya ditanam dalam bentuk suspensi dengan kepadatan yang telah ditentukan .

b. Protoplas, biasanya ditanam dalam bentuk suspensi dengan kepadatan yang telah di tentukan, mesofil daun, teras batang, kalus adalah bagian tanaman yang umum di pakai sebagai sumber protoplas.

c. Jaringan meristem, merupakan jaringan tanaman yang terdapat pada daerah-daerah pertumbuhan. Ciri jaringan ini tersusun oleh sekelompok sel yang terus menerus membelah sehingga belum ada spesialisasi bentuk dan fungsi dari sel-sel yang menyusunnya.

d. Kalus, merupakan masa sel yang aktivitas pembelahannya tidak terkendali dan belum terdiferensiasi.

e. Organ, merupakan bahan yang paling umum digunakan dalam kegiatan kultur jaringan, bahan itu meliputi : daun, batang, akar, biji, tunas, embrio, anther, kepala sari dan lain sebagainya.

2.1.3. Media Tanam

Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca. Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan autoklaf

Secara umum tanaman memerlukan : hara makro dan mikro, vitamin, karbohidrat (Gula), asam amino, dan N-organik, ZPT, zat pemadat dan kadang ada penambahan bahan-bahan seperti air kelapa, ekstrak ragi, jus tomat, ekstrak kentang, ataupun arang aktif (Santoso dan Nursandi (2002).

Santoso dan Nursandi (2002) juga mengemukakan bahwa media tanam di pengaruhi oleh dua factor yaitu pH dan temperature. Dalam budidaya sel-sel tanaman memerlukan pH asam yaitu berkisar 5.5 – 5.8 ,sedangkan temperature yang tepat untuk pertumbuhan adalah temperature kurang dari 20ºC.

2.1.5. Rejuvinasi

Rejuvinasi adalah kata yang berasal dari bahasa Inggris yaitu Rejuvination yang berarti permudaan kembali .Rejuvinasi merupakan suatu teknik permudaan kembali suatu tanaman ,dengan tujuan untuk memperoleh sumber eksplan yang bersifat juvenile dalam jumlah banyak dan mempunyai sifat genetik sama persis dengan induknya ( Herawan dan Husnaeni,1996).

Untuk jenis Acasia sp. ,teknik rejuvinasi adalah perendaman cabang ke dalam air, cabang diambil dari pohon terpilih dengan menggunakan gergaji, panjang masing-masing cabang adalah 50 cm, tiap cabang diberi label sesuai dengan nomor induk. Pada ujung cabang dilapisi lilin dengan tujuan untuk mengurangi penguapan dari dalam cabang, cabang direndam dalam air setinggi 4 cm dengan dialiri air dari keran secara terus–menerus atau dapat juga dengan tanpa aliran air tetapi pergantian air secara berkala untuk menghindari tumbuhnya lumut setelah 1 bulan trubusan sudah dapat di gunakan sebagai materi pembiakan vegetatif ( Yogaswara ,2003).

2.2 . Mengenal Tanaman Akasia (Acacia sp)

Acacia sp. yang dalam bahasa Inggrisnya disebut brown salwood merupakan jenis tanaman yang sangat mudah beradaptasi dengan berbagai kondisi lahan dan menunjukkan pertumbuhan baik meskipun tumbuh pada tanah miring dan mudah tererosi. Jenis ini juga bersimbiosis dengan tanaman pengikat nitrogen pada marga Rhizobium dengan menjadi sumber nitrogen selain pemupukan yang cukup menopang pertumbuhannya . Acacia sp juga memiliki hubungan dengan beberapa jamur, antara lain Thelephora ramariod, Gigaspora margarita ,Glomus etunicartum, dan Scutellispora.

2.2.1. Sistematika Tanaman Akasia

Sistematika Acacia sp menurut Davidson (sari, 2004 ) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Sub divisio : Angiospermae

Class : Dicotylodeneae

Ordo : Rosales

Familia : Leguminoseae

Sub Familia : Mimosoideae

Genus : Acacia

Species : Acacia sp.

2.2.2. Syarat Tumbuh Akasia

Acacia sp dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 30 meter dengan diameter lebih dari 60 cm. Bunga infloresensia menyerupai sikat dan berbau harum, kulit bijinya lebar , berbentuk linier dan tergulung secara ireguler dengan lebar 3-5 mm dan panjang 7-8 cm. bijinya berwarna coklat tua hingga kehitam-hitaman dan berkilap. Panjangnya antara 3-5 mm dan lebar 2-4 mm, bijinya akan matang setelah 6-7 bulan .

Sedangkan habitat aslinya Acacia sp adalah hidup pada daerah lembab dengan curah hujan tahunan bervariasi antara 1000 mm–4500 mm. Terdapat secara luas pada ketinggian di bawah 100 meter dari permukaan laut kecuali di Australia ditemukan dua bidang tegakan pada ketinggian 450 meter dari permukaan laut dengan suhu rata-rata pertahun 26,7ºC dan suhu maksimal berkisar antara 31ºC-34ºC dan suhu minimum 12ºC-26ºC . Davidson (sari ,2004).

Kemampuan Acacia sp. beradaptasi terhadap lingkungan sangat tinggi, jenis ini mampu hidup dengan baik pada kondisi lingkungan yang sangat terbatas. Acacia sp. tidak di temukan secara alami pada tanah yang berasal dari batu–batuan basa ,namun terdapat pada tanah asam dengan pH 4,2 hal ini merupakan keistimewaan Acasia sp. yang tidak dimiliki Leguminoseae lainnya (National Research Council, 1983). Acacia sp. mampu tumbuh dengan baik pada jenis tanah gambut, ultisol, tanah alluvial campuran, tanah lempung berpasir, tanah pegunungan, tanah kering dan rawa-rawa, di mana pH berkisar antara 5,3 - 6 ( Dirjosoemarto,1983).

2.2.3. Jenis-Jenis Akasia

Ada dua jenis akasia yang sudah umum ditanam, kedua jenis itu adalah magi-magi gunong (Acacia mangium) dan akor (Acacia auriculiformis). Keduanya termasuk dalam famili Caesalpinaceae, suku Fabaceae dan marga Acacia.

1. Magi-magi gunong (Acacia mangium)

a. Daerah penyebaran alaminya meliputi daerah Queensland, Australia bagian utara, Irian Jaya bagian utara, Kepulauan Aru, Maluku Selatan, Seram bagian barat, dan daerah Bentuas Kalimantan Timur. Satu-satunya faktor pembatas Acacia mangium yaitu tidak dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian tempat lebih dari 300 m diatas permukaan laut.

b. Ciri tanaman ini adalah bentuk batangnya bulat lurus, bercabang banyak (simpodial), berkulit tebal agak kasar, dan kadang beralur kecil dengan warna cokelat muda. Pohon yang dewasa tingginya dapat mencapai 30 m dengan diameter batang mencapai lebih dari 75 cm. Tajuknya menyerupai kerucut sampai lonjong. Sewaktu tanaman masih muda (dalam persemaian) memiliki daun majemuk ganda, sedangkan setelah dewasa muncul daun semu tunggal (phyllodia). Lebar daun dibagian tengah antara 4-10 cm dengan panjang antara 10-26 cm. Pada umur 2 tahun tanaman ini sudah mulai berbunga dan berbuah, akan tetapi biji yang dihasilkan belum layak menjadi sumber benih. Buah yang baik untuk dijadikan benih berasal dari tanaman yang telah berumur minimal 5 tahun atau lebih. Musim bunga terjadi antara bulan Maret-April sehingga buah akan masak antara bulan September-Oktober.

a. Acacia auriculiformis yang bernama daerah akor atau ori akor penyebaran alaminya meliputi Australia, Maluku, dan Irian Jaya. Dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur dengan curah hujan tahunan 1 080-2 100 mm. Ketinggian tempat yang ideal untuk tanaman ini berkisar antara 0-400 m dpl.

Pada umumnya jenis ini dapat mencapai tinggi 15 m dengan diameter batang ± 50 cm. Pada waktu muda pertumbuhannya sangat cepat, sehingga umur 4 tahun saja dapat mencapai tinggi 10 m dengan diameter batang 6.6 cm. Bentuk batangnya kurang baik dengan percabangan yang rendah dan banyak. Tajuknya lebar agak rapat dengan ukuran panjang daun 150-400 mm dan lebar 100-180 mm. Musim berbuahnya pada bulan Juli-November.

III. METODE PELAKSANAAN KEGIATAN

3.1. Waktu dan Tempat

Kegiatan Perbanyakan Tanaman Akasia (Acasia sp.) melalui teknik kultur jaringan dilaksanakan dari mulai tanggal 1 Desember 2008 s/d 13 Februari 2009 di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (B2PBPTH), Jalan Palagan Tentara Pelajar KM. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta

3.2. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam melaksanakan Kegiatan di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan adalah laminar air flow cabinet (LAFC), microwave, autoklaf elektrik, botol kultur, alat diseksi (pinset, skalpel), rak dorong, baki, petridish, erlenmeyer, labu ukur, gelas ukur, handsprayer, lampu bunsen, gunting, beaker glass, timbangan digital, timbangan analitik, hot plate magnetic stirrer, multipoint magnetik stirrer, pH meter, kulkas, pipet tetes, pipet ukur, mikro pipet, teko ukur, kuas, alat pencuci, spatula, shaker putar, sprayer, sekop, pisau, gunting, dan sendok.

Bahan-bahan yang digunakan dalam melaksanakan Kegiatan di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan adalah unsur hara makro, unsur hara mikro, unsur hara besi, vitamin, Zat Pengatur Tumbuh (ZPT), sukrosa, gula pasir, agar-agar, tisu, alkohol 96%, alkohol 70%, sublimat, spirtus, mata pisau, detergen, fungisida, air kran, air destilata, air destilata steril, plastik wraffing, alumunium foil, kertas label, spidol permanen, korek api, NaOH, HCL, kertas, pot, media pasir, dan media aklimatisasi.

3.3. Metode Kegiatan

3.3.1. Orientasi

Sebelum melaksanakan praktik pihak instansi memberikan pengarahan mengenai kegiatan yang akan dilakukan selama melaksanakan praktik.

3.3.2. Observasi

Melakukan pengamatan terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan di laboratorium maupun di lapangan, khususnya tentang kultur jaringan Akasia.

3.3.3. Adaptasi

Adaptasi dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi tempat pelaksanaan kegiatan dan senantiasa menjalin hubungan baik dengan pembimbing dan karyawan perusahaan/industri maupun masyarakat di sekitar tempat tinggal kegiatan.

3.4. Pelaksanaan kegiatan

Kegiatanan yang dilakukan di Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta yaitu dimulai dari:

3.4.1. Pembuatan Media

Pembuatan media kultur yang dilakukan di laboratorium kultur jaringan yaitu dimulai dari penimbangan bahan, pembuatan larutan stok, pengambilan larutan stok, pencampuran larutan dan gula, pengujian pH, pemberian bahan pemadat (agar-agar), pemasakan media, penuangan media pada botol, sterilisasi media dan penyimpanan media di ruang media.

3.4.2. Penyiapan Eksplan

Setelah pembuatan media langkah selanjutnya yaitu penyiapan eksplan akasia. Penyiapan eksplan dilakukan dengan teknik rejuvenasi langsung dari lapangan, teknik rejuvenasi yaitu perendaman batang akasia pada air.

3.4.3. Sterilisasi Eksplan dan Inisiasi

Sterilisasi eksplan yaitu mengambil eksplan yang berasal dari teknik rejuvenasi dan eksplan yang langsung dari lapangan, kemudian disterilisasi di luar laminar dan di dalam laminar lalu ditanamkan pada media yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

3.4.4. Subkultur

Subkultur dilakukan pada ruangan yang steril dengan peralatan yang steril juga yaitu dengan memindahkan propagul ke media baru kemudian dilanjutkan dengan pengakaran yaitu tahap untuk mengakarkan planlet.

3.4.5. Aklimatisasi

Tahap terakhir yang dilakukan yaitu aklimatisasi yang dilakukan di green house. Aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptik ke bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif.

IV. HASIL KEGIATAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Wilayah B2PBPTH Yogyakarta

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman beralamatkan di Jalan Tentara Pelajar KM 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Lokasi B2PBPTH terletak di ketinggian ± 400 meter dari permukaan laut (dpl) dan di atas areal tanah seluas 5.5 ha (± 1.5 Ha untuk areal demplot). Lokasi laboratorium kultur jaringan terletak di Kaliurang (± 24 km sebelah utara Yogyakarta) dengan ketinggian tempat ± 900 meter diatas permukaan laut (dpl) pada areal 1.29 Ha. Lokasi ini digunakan untuk kegiatan uji coba bagi tanaman yang memerlukan lokasi tempat yang tinggi.

4.2. Hasil Kegiatan KEGIATAN

4.2.1. Pembuatan dan Sterilisasi Media Akasia (Acasia sp.)

Media kultur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan perbanyakan tanaman secara kultur jaringan. Berbagai komposisi media kultur telah diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan yang dikulturkan (Yusnita, 2004). Pembuatan media tanam dalam perbanyakan tanaman secara in vitro merupakan kegiatan yang paling penting dan memerlukan ketelitian serta pemahaman yang jelas dalam proses pembuatannya.

Dalam pembuatan media kultur Akasia (Acasia sp.) harus dilaksanakan dengan cermat, sabar dan teliti dalam mengerjakannya terutama dalam penimbangan bahan, sehingga komposisi media tepat dan baik untuk pertumbuhan dari tanaman yang dikulturkan. Pembuatan media kultur Akasia (Acasia sp.) yang dilakukan di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan dimulai dari sterilisasi botol kultur. Botol kultur yang akan digunakan dalam pembuatan media sebelumnya dicuci dengan menggunakan detergen dan dibilas di air mengalir sampai bersih. Setelah dicuci kemudian dikeringkan, lalu disterilisasi dalam autoklaf elektrik pada tekanan 17,5 psi (pounds per square inch), suhu 121oC dan waktu 60 menit. Setelah tekanan pada autoklaf mencapai angka 0 tutup autoklaf dibuka lalu dibiarkan sebentar agar uapnya keluar. Botol kemudian diambil, lalu disimpan di meja tempat botol steril dan siap digunakan sebagai wadah media. Setelah menyiapakan botol kultur yang steril kemudian membuat larutan stok media. Larutan stok yang dibuat yaitu stok hara A, B, C, vitamin dan zat pengatur tumbuh.

Komposisi media kultur jaringan Akasia (Acasia sp.) menggunakan kompsisi media MS (Murashige dan Skoog) yang digunakan untuk inisiasi dan multiplikasi. Komposisi media MS terdiri dari stok hara A, B, C, dan vitamin, kemudian ditambah lagi dengan zat pengatur tumbuh.

Pembuatan media tanam akasia secara umum dimulai dari penyiapan alat dan bahan. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan media yaitu autoklaf, hot plate magnetik stirer, stirrer, beaker glass, multipoint magnetik stirrer, pipet, microwave, dan botol kultur. Air destilata dimasukkan ± 300 ml pada beaker glass, kemudian larutan stok A, B, C, vitamin, dan zat pengatur tumbuh yang telah dibuat dimasukkan juga ke dalam beaker glass sesuai dengan pengambilan pada masing-masing larutan stok. Sukrosa dan agar ditimbang yaitu untuk sukrosa 30 gram/liter untuk media MS dimasukkan ke dalam beaker glass tersebut lalu diaduk sampai homogen pada stirrer menggunakan kapsul magnetik. Larutan media kemudian ditera dengan air destilata ¾ larutan media (1 liter). Disamping itu pH meter dikalibrasi dalam buffer 1 (4,01), dan buffer 2 (7,00). Setelah larutan ditera dan dilarutkan sampai homogen kemudian dilakukan pengukuran pH, pH yang diinginkan yaitu 5,7 apabila lebih dari 5,7 maka harus ditambahan HCL dan apabila kurang dari 5,7 harus ditambahkan NaOH sedikit-sedikit hingga mencapai pH 5.7. Larutan media kemudian ditambahkan air destilata lagi sampai 1000 ml. Setelah itu larutan media ditambahkan agar-agar dan diaduk sampai homogen. Larutan media lalu dimasukkan dalam microwave selama 6 menit/liter kemudian dimasak di hot plate magnetik stirrer sampai warnanya jernih dan mendidih, setelah itu media dituangkan pada tabung kecil ± 10 ml/botol dan pada botol besar 25 ml/botol. Tabung dan botol media tersebut kemudian ditutup dengan alumunuium foil. Media lalu disterilisasi dalam autoklaf elektrik pada tekanan 17,5 psi, suhu 121oC dan waktu 20 menit, kemudian media disimpan di ruang media pada suhu ruangan yaitu 26–28oC.

4.2.2. Penyiapan Eksplan Akasia (Acasia sp.)

Bahan tanam sumber eksplan yang digunakan untuk perbanyakan tanaman Akasia (Acasia sp.) secara in vitro yaitu eksplan yang berasal dari tanaman Akasia yang jelas jenis, spesies, dan varietasnya serta harus sehat dan bebas dari hama dan penyakit. Permasalahan yang sering dihadapi dalam perbanyakan tanaman keras atau tanaman tahunan biasanya dalam penyediaan eksplan, karena tanaman kayu atau tanaman keras banyak mempunyai jaringan yang tua, meskipun dibeberapa bagian ada pula yang masih bersifat meristematis. Umumnya eksplan yang digunakan adalah tunas pucuk yang memiliki jaringan yang masih muda dan mengandung hormon endogen, yang sedang tumbuh aktif karena mengandung lebih sedikit sumber kontaminan dan masih aktif beregenerasi. Penyiapan eksplan akasia dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penyiapan eksplan dari lapangan dan dari teknik rejuvenasi.

Penyiapan eksplan dari lapangan diambil berupa pucuk tunas akasia sekitar umur 1,5 tahun (masa juvenil dari ranting buku ke 2 dan ketiga dengan panjang eksplan sekitar 2-3 cm. Pengambilan eksplan dilakukan pada musim penghujan masuk ke musim kemarau.

Eksplan yang berasal dari teknik rejuvenasi diperoleh dari rendaman batang akasia yang berumur ± 2 tahun dan berdiameter antara 5–10 cm yang dipotong berukuran 40 cm perbuku pada media air. Batang akasia tersebut sebelumnya harus dipastikan jelas asal usulnya yaitu jenis dan varietasnya serta batang akasia yang masih bertunas. Sebelum menyiapkan potongan akasia, media air dipersiapkan sebelum melakukan perendaman, akasia tersebut dicuci dengan fungisida sampai bersih, kemudian dioleskan lilin pada bagian yang terluka akibat pemotongan, setelah itu dicuci dengan air sampai bersih, kemudian dilakukan perendaman dengan cara disandarkan pada bak yang bermediakan air, rendaman akasia pada media air agar lebih steril, sehat dan terbebas dari hama dan penyakit dan cepat menghasilkan tunas harus dilakukan perawatan. Pada rendaman air media diganti 3 hari sekali.

4.2.3. Sterilisasi Eksplan dan Inisiasi Akasia (Acasia sp.)

Eksplan merupakan sumber kontaminasi kultur, disamping komponen media, faktor manusia, alat-alat dan lingkungan. Oleh karena itu eksplan akasia yang akan dikulturkan sebelumnya disterilisasi. Proses sterilisasi eksplan akasia tersebut bertujuan agar bakteri, jamur dan mikroorganisme yang akan menyebabkan kultur kontaminasi mati. Bahan-bahan yang digunakan dalam sterilisasi eksplan akasia yaitu fungisida, detergen, air mengalir, alkohol 70%, HgCl2 0,15%, air destilata steril, dan tween 20.

Pucuk akasia yang telah diambil dari lapangan dibersihkan sampai terlihat bersih kemudian pucuk dipotong mencapai 5-10 cm sedangkan pucuk tunas setelah dipotong-potong dibersihkan dari kotoran yang menempel dengan cara disikat menggunakan sikat dalam larutan fungisida. Begitupun dengan eksplan tunas dari rejuvenasi dibersihkan dari kulit terluar sampai terlihat warna putih bersih dan dibersihkan dengan menggunakan spon dalam larutan fungisida. Dalam sterilisasi tersebut, eksplan dipisahkan dalam botol yang berbeda berdasarkan jenis eksplan yang muda dan yang tua. Prosedur sterilisasi eksplan akasia terdiri dari dua bagian yaitu sterilisasi di luar laminar dan sterilisasi di dalam laminar.

Sterilisasi di luar laminar dimulai dengan mencuci eksplan dengan menggosok-gosok eksplan satu per satu secara perlahan dengan menggunakan spon atau kuas hingga bersih. Eksplan akasia kemudian direndam sambil diputar dalam larutan fungisida 2 gram/100 ml selama 30 menit kemudian bilas dan direndam diputar lagi dalam larutan fungisida selama 30 menit dengan menggunakan stirrer, kemudian direndam kembali pada larutan detergen sambil diputar pada stirrer selama 15 menit, lalu membilasnya pada air mengalir dan 1 kali air destilasi pada bilasan terakhir. Disamping menunggu waktu perendaman dalam larutan detergen dilanjutkan dengan pembuatan alkohol 70% dan sublimat 0,1%. Pembuatan alkohol 70% menggunakan metode pengenceran dari alkohol yang tersedia 95% (74 ml alkohol 95% dan 26 ml air destilata), begitupun sublimat 0,1% menggunakan metode pengenceran dari bahan aktif sublimat. Setelah sterilisasi di luar laminar eksplan akasia dibawa ke dalam laminar untuk disterilisasi lagi. Laminar air flow cabinet merupakan meja kerja steril yang sebelum digunakan harus dipersiapkan dalam kondisi aseptik dengan cara menyalakan lampu UV selama ±30 menit sebelum sterilisasi kemudian menyemprotkan alokohol 70% pada meja kerja secara merata kemudian melapnya dengan tisu kering. Setelah itu kemudian lampu TL dan blower dinyalakan. Eksplan akasia disterilisasi lagi dengan merendam dan menggoyang eksplan dalam larutan sublimat 0,1% selama 15 menit, kemudian dibilas dengan air destilata steril sebanyak 3x. Setelah itu direndam kembali pada larutan alkohol 70% sambil menggoyang eksplan selama 1-3 menit kemudian dibilas dengan air destilata steril 3 kali, kemudian tiriskan.

Inisiasi merupakan tahap penanaman eksplan yang sudah disterilisasi kemudian ditanamkan dalam media kultur. Eksplan akasia yang sudah disterilisasi kemudian ditanam pada media MS. setelah selesai penanaman pada botol diberi keterangan sesuai dengan tanggal inisiasi lalu menyimpannya di ruang inkubasi dalam kondisi terang dengan pencahayaan 1000 lux pada suhu 28oC kelembaban 70% dengan lama penyinaran 16 jam. Setiap 3 hari sekali dilakukan pengamatan. Parameter yang diamati yaitu jumlah kultur yang terkontaminasi jamur, bakteri dan campuran (jamur dan bakteri) serta respon eksplan terhadap media yang digunakan. Respon berdasarkan masih berlangsungnya proses fisiologis yang ditunjukkan warna dan kesegaran eksplan.

4.2.4. Multiplikasi Akasia (Acacia sp.)

Multiplikasi pada prinsipnya bertujuan untuk menggandakan propagul atau bahan tanaman yang diperbanyak atau embrio serta memeliharanya dalam keadaan tertentu sehingga sewaktu-waktu dapat dilanjutkan untuk tahap berikutnya. Pada umumnya teknik multiplikasi akasia sama prinsipnya seperti tanaman hutan yang lain. Dalam melaksanakan kegiatan penanaman baik inisiasi maupun multiplikasi keadaan alat, media, bahan, pekerja harus dalam keadaan steril. Multiplikasi dilaksanakan di dalam meja kerja steril laminar air flow cabinet. Laminar air flow cabinet sebelum digunakan disterilisasi dengan menyalakan lampu UV selama 30 menit kemudian menyemprotkan alkohol 70% pada meja kerja dengan tidak mengenai filter lalu melapnya dengan tisu steril. Blower dan lampu TL pada laminar kemudian dinyalakan. Alat-alat yang akan digunakan untuk multiplikasi sebelumnya disterilisasi pada autoklaf pada tekanan 17,5 Psi, suhu 121oC dan waktu 60 menit.

4.2.5. Aklimatisasi

Aklimatisasi adalah proses pengkondisian planlet atau tunas mikro (jika pengakaran dilakukan secara ex vitro) di lingkungan baru yang aseptik di luar botol, dengan media tanah, atau pakis sehingga planlet dapat bertahan dan terus menjadi bibit yang siap ditanam di lapangan (Yusnita, 2004). Pada umumnya teknik aklimatisasi akasia sama prinsipnya seperti tanaman hutan yang lain yaitu yang dilakukan pada tanaman cendana. Proses aklimatisasi dimulai dari penyiapan alat dan bahan yang akan digunakan yaitu baki, pinset, kuas, fungsisida, air mengalir, planlet cendana dan media campuran (tanah top soil, pupuk kandang/kompos), dan pasir lalu membuat larutan fungsida dengan dosis 1 gram/liter.

Sebelum dilakukan penanaman planlet diseleksi berdasarkan kelengkapan organ, warna kekerasan dan ukuran. Planlet cendana yang akan diaklimatisasi telah mempunyai organ yang lengkap, mempunyai akar dan pucuk, warna pucuknya hijau mantap, artinya tidak tembus pandang dan pertumbuhannya kekar. Planlet kemudian dikeluarkan dari botol secara hati-hati dengan pinset kemudian dicuci dari media kultur yang menempel pada akar pada air bersih menggunakan kuas kecil. Planlet tersebut kemudian direndam dalam larutan fungisida selama 5 menit. Planlet lalu ditanamkan pada media campuran yaitu tanah top soil, pupuk kandang/kompos, pasir dengan perbandingan 3 : 1 : 1 yang berada dalam bak plastik kemudian disiram. Bak plastik tersebut kemudian disungkup menggunakan plastik transparan lalu simpan di rumah kaca dengan penyinaran tidak terlalu tinggi (intensitas cahaya sedang). Sungkup baru dibuka apabila media kering atau akliamatisasi telah berlangsung 2 minggu dengan cara sungkup dibuka bertahap biasanya ¼ bagian sungkup. Setalah diaklimatisasi selama 2-3 minggu planlet yang dianggap telah menumbuhkan rambut akar dan akar lateral segera dipindah ke dalam media polybag dan disimpan di rumah kaca.

4.3. Pembahasan

4.3.1. Pembuatan dan Sterilisasi Media Akasia ( Acasia sp.)

Kesuksesan dalam kultur jaringan salah satu faktor utamanya adalah media kultur. Teknik kultur jaringan menekankan lingkungan tumbuh yang cocok agar eksplan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan. Lingkungan yang cocok sebagian akan terpenuhi apabila media dipilih mempertimbangkan kebutuhan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman (Santoso dan Rustandi, 2001). Media kultur jaringan juga membutuhkan unsur hara seperti yang dibutuhkan oleh tanaman seperti unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan mikro (Fe, Cu, Mn, Zn, B, Mo, dan Co). Disamping itu juga penambahan vitamin, asam amino, dan zat pengatur tumbuh sangat baik. Media dasar yang digunakan untuk inisiasi akasia yaitu komposisi media MS (Murashige dan Skoog), dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) berupa BAP dengan konsentrasi 3 mg/l, NAA (Auksin) 1 mg/l dan GA4 (Giberelin Acid) dengan konsentrasi 1 mg/l. mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi secara endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur (Gunawan, 1992).

Pembuatan media tanam dapat dilakukan dengan menimbang setiap komponen media yang akan dibuat tetapi hal itu kurang praktis apalagi menimbang bahan yang sangat sedikit sehingga perlu dibuat larutan stok. Larutan stok yang dibuat berupa unsur hara Makro, Mikro, Na EDTA, Vitamin dan ZPT. Pembuatan larutan stok dalam pembuatan media tanam memiliki banyak keuntungan yaitu lebih praktis, mengefisienkan waktu, cepat dan tidak mengurangi ketepatan penimbangan (Hendaryono dan Wijayani, 2006). Dalam kultur jaringan penambahan gula pada media juga sangat penting. Gula yang digunakan pada kultur akasia yaitu sukrosa. Gula digunakan sebagai sumber energi dalam media kultur karena umumnya bagian tanaman atau eksplan yang dikulturkan tidak autotrof dan mempunyai laju fotosintesis rendah (Yusnita, 2004). Gautheret (1945) dalam Gunawan (1992) menambahkan bahwa sukrosa adalah yang paling baik lalu glukosa, maltosa, dan rafinosa. Dalam kultur kalus dan pucuk, konsentrasi antara 2-4% merupakan konsentrasi yang optimum (Gunawan, 1992).

Dalam pembuatan media kultur akasia menggunakan bahan pemadat agar-agar sebanyak 12 gram. Kekerasan media yang menggunakan agar-agar pada umumnya meningkat secara linier pada pertambahan konsentrasi agar-agar. Kekerasan dipengaruhi oleh jenis agar-agar yang dipakai. Merek agar-agar yang berbeda, memberikan kekerasan yang sedikit berbeda pada berat yang sama. Agar-agar adalah campuran polisakarida yang diperoleh dari beberapa spesies algae. Dalam analisa unsur, diperoleh data bahwa agar-agar mengandung sedikit unsur Ca, Mg, K, dan Na (Debergh, 1982 dalam Gunawan, 1992). Umumnya agar dapat membentuk gel pada suhu 40-45°C dengan titik cair 80-100°C. Keuntungan dari pemakaian agar-agar adalah agar-agar membeku pada suhu 45°C dan mencair pada suhu 100° sehingga dalam kisaran suhu kultur agar-agar akan berada dalam keadaan beku yang stabil, tidak dicerna oleh enzim tanaman dan tidak bereaksi dengan persenyawaan-persenyawaan penyusun media.

Faktor penting lain dalam pembuatan media akasia yang juga perlu mendapat perhatian yaitu pH. pH adalah nilai yang menyatakan derajat keasaman atau kebasaan dari larutan dalam air. pH yang dibutuhkan untuk tanaman akasia yaitu 5,7. Sel-sel tanaman yang dikembangkan dengan teknik kultur jaringan mempunyai tolerasi pH relatif sempit dengan titik optimal antara pH 5,0 dan 6,0 (Hendaryono dan Wijayani, 2006). Menurut Gamborg dan Shyluk, 1981 dalam Gunawan, 1992, sel-sel tanaman membutuhkan pH sedikit asam berkisar antara 5,5 – 5,8. pH media seringkali setelah disterilisasi dalam autoklaf pH-nya berubah. Untuk mencapai pH 5,7–5,9 Mann dan groupnya dalam Gunawan, 1992, membuat pH 7.0 dalam media yang belum disterilkan. pH yang kurang dari 5.5 akan menyebabkan media menjadi encer sedangkan pH yang lebih dari 5.8 akan padat keras sehingga tidak bisa digunakan dan akan menyebabkan media pecah.

Media yang telah selesai dibuat selanjutnya disterilisasi melalui pemanasan dalam autoklaf pada suhu 121oC, tekanan 17.5 Psi/1.5 kg/cm2 selama 20 menit. Pemanasan di dalam autoklaf pada suhu 121oC maka bakteri dan mikroba akan mati. Uap air yang berada pada bejana tertutup rapat sehingga tekanan di dalam autoklaf naik melebihi tekanan normal. Kenaikan tekanan uap ini akan menyebabkan air mendidih di atas 100oC. Oleh karena itu tekanan harus diatur sampai mencapai 1.5 kg/cm2, pada tekanan tersebut mikroba akan mati (Hendaryono dan Wijayani, 2006).

4.3.2. Penyiapan Eksplan Akasia (Acasia sp.)

Eksplan adalah bahan tanam yang dikulturkan. Dalam perbanyakan dengan kultur jaringan, eksplan merupakan faktor penting penentu keberhasilan. Oleh karena itu dalam penyiapan eksplan harus diperhatikan umur fisiologis, umur ontogenetik, ukuran eksplan serta bagian tanaman yang digunakan (Yusnita, 2004). Menurut Wetherell, 1982, kesesuaian suatu bagian tanaman untuk dijadikan eksplan dipengaruhi oleh banyak faktor. Tanaman yang memiliki hubungan kekerabatan dekatpun belum tentu menunjukkan respon yang sama meskipun demikian ada tiga hal penting yang berpengaruh terhadap respon in vitro tersebut yaitu kemampuan regenerasi yang kuat, tingkat fisiologi dan kesehatan dari tanaman donor.

Bahan tanam sumber eksplan yang digunakan untuk perbanyakan tanaman akasia (Acasia sp.) secara in vitro yaitu harus berasal dari tanaman akasia yang jelas jenis, spesies, dan varietasnya serta harus sehat dan bebas dari hama dan penyakit. Sugito, 2007, menambahkan bahwa tanaman yang akan dijadikan sumber eksplan harus mempunyai nilai ekonomis tinggi, produksinya disukai pasar, tanamannya sehat, tumbuh baik dan normal. Permasalahan yang sering dihadapi dalam perbanyakan tanaman keras atau tanaman tahunan biasanya dalam penyediaan eksplan, karena tanaman kayu atau tanaman keras banyak mempunyai jaringan yang tua, meskipun di beberapa bagian ada pula yang masih bersifat meristematis.

Umumnya eksplan yang digunakan adalah tunas pucuk yang memiliki jaringan yang masih muda dan mengandung hormon endogen, yang sedang tumbuh aktif karena mengandung lebih sedikit sumber kontaminan dan masih aktif beregenerasi. Penyiapan eksplan akasia dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu dari lapangan, trubusan dan hasil rejuvinasi.

Penyiapan eksplan dari lapangan diambil berupa tunas pucuk. Akasia yang digunakan sebagai eksplan yaitu tunas pucuk yaitu diambil dari ranting akasia yang dipotong per ketiak 3 cm dari ketiak atas di potong 3-5 cm dan ketiak bawah tergantung dari panjang tunas tersebut .

Tunas pucuk akasia yang berasal dari lapangan diambil yang masih muda. Jaringan tanaman yang masih muda mempunyai daya regenerasi lebih tinggi, sel-selnya masih aktif membelah diri, dan relatif lebih bersih (mengandung sedikit kontaminan). Ukuran eksplan yang besar beresiko kontaminasi lebih tinggi dibandingkan dengan yang berukuran kecil sehingga eksplan yang berukuran kecil sangat baik untuk digunakan karena kemungkingan terkontaminasi jauh lebih kecil (Yusnita, 2004).

Eksplan yang berasal dari trubusan merupakan eksplan yang diperoleh dari pemangkasan pada batang/tunas tanaman akasia yang kemudian diberi perlakuan dengan hormon ZPT seminggu sekali dan perendaman setiap hari yang berisi media air steril.

Teknik rejuvenasi merupakan eksplan yang diperoleh dari rendaman batang akasia pada media air. Rejuvenasi adalah kata yang berasal dari bahasa Inggris yaitu rejuvenation yang berarti pemudaan kembali. Tujuan dari rejuvenasi adalah untuk bahan-bahan vegetatif yang secara fisiologis bersifat juvenil (dapat membentuk organ baru) sehingga dapat diperbanyak secara vegetatif, karena sifat juvenil lebih memungkinkan tanaman untuk berakar. Sifat ini umumnya terdapat pada tunas muda yang tumbuh pada tanaman. Selain media yang harus steril bahan tanam/batang akasia yang digunakan harus dalam keadaan steril. Sterlisasi bahan tanam menggunakan detergen dan fungisida. Batang akasia yang kotor dapat dibersihkan dengan detergen serta dengan pembilasan air mengalir. Begitupun dengan larutan fungisida yang digunakan untuk mencegah terjadinya kontaminasi oleh fungi (jamur). Dengan adanya perlakuan tersebut sehingga eksplan yang berasal dari teknik rejuvenasi akan lebih steril dibandingkan dengan yang dari lapangan. Penggantian media air 3 (tiga) kali sekali pada media air, hal itu dimaksudkan agar eksplan yang akan digunakan untuk perbanyakan tanaman akasia secara in vitro sehat dan bebas dari hama dan penyakit serta pertumbuhannya cepat.

4.3.4. Sterilisasi Eksplan dan Inisiasi Akasia (Acasia sp.)

Eksplan merupakan sumber kontaminasi kultur disamping komponen media, faktor manusia, dan lingkungan. Oleh karena itu eksplan harus dibersihkan dari kotoran terluar dan disterilisasi sebelum ditanam secara aseptik dalam media yang steril (Yusnita, 2004). Wetherell, 1982, mengungkapkan hal yang sama yaitu sebelum eksplan dipindahkan ke dalam kultur terlebih dahulu semua mikroorganisme harus dibasmi (disterilsasi).

Prosedur sterilisasi eksplan akasia terdiri dari dua bagian yaitu sterilisasi di luar laminar dan sterilisasi di dalam laminar. Bahan untuk sterilisasi eksplan di luar laminar yaitu detergen, dan fungisida, sedangkan bahan untuk sterilisasi eksplan di dalam laminar yaitu sublimat 0,1%, alkohol 70%, dan tween 20. Menurut Wetherell, 1982, karena lapisan luar tanaman biasanya berlapiskan lilin maka larutan disinfektan perlu ditambah detergen, untuk mempermudah penetrasi disinfektan dan mencegah terbentuknya gelembung-gelembung udara yang menutupi permukaan jaringan. Detergen yang digunakan dalam sterilisasi akasia adalah tween 20 untuk campuran sublimat. Fungsida juga digunakan sebagai bahan untuk sterilisasi eksplan yaitu agar fungi (jamur) yang berada pada eksplan mati dan bebas dari mikroorganisme.

Dalam melakukan sterilisasi di dalam laminar harus dilakukan dalam kondisi yang aseptik sehingga laminar sebelum digunakan harus dibersikan dahulu menggunakan alkohol 70%, menggunakan jas lab dan alat-alat harus dalam keadaan steril. Bahan kimia yang digunakan dalam sterilisasi ini yaitu sublimat 0,1% selama 15 menit dan alkohol 70% selama 1-3 menit. Bahan ini merupakan bahan yang sudah sering dan umum digunakan untuk sterilisasi eksplan. Penggunaan alkohol yaitu 70% karena pada konsentarasi itu jamur akan mati.

Inisiasi akasia merupakan tahap penanaman eksplan yang sudah disterilisasi kemudian ditanamkan dalam media akasia 2. Dalam kegiatan ini alat-alat harus dalam keadaan steril yang sebelumnya disterilisasi dalam autoklaf agar bakteri, jamur dan mikroorganisme yang akan menyebabkan kultur terkontaminasi mati. Kegiatan ini dilakukan di dalam meja kerja steril laminar air flow cabinet yang menghembuskan udara steril yang dihembuskan dari blower melalui suatu filter. Meja kerja steril ini juga harus disterilisasi dengan alkohol 70% sebelum digunakan. Alat-alat seperti pinset, skalpel dan mata pisau harus dibakar pada lampu bunsen yang sebelumnya dicelupkan dahulu pada alkohol 95% sebelum dan sesudah digunakan. Eksplan pucuk tunas, tunas akasia hasil dari pengambilan dari lapangan secara langsung tanpa di rejuvinasikan lagi. Eksplan sudah disterilisasi kemudian ditanamkan dalam media MS, (MS lengkap + BAP 3 Mg/L NAA 1 Mg/L, GA4 1 Mg/L ). Kemudian disimpan di ruang inkubasi terang 1000 lux dengan lama penyinaran 16 jam pada suhu 28oC dan kelembaban 70%. Menurut Gunawan, 1992, intensitas cahaya yang baik adalah 100–400 ft-c (1000-4000 lux), dan lama penyinaran 14–16 jam dari banyak penelitian memberikan hasil yang baik. Begitupun dengan suhu yang baik untuk pertumbuhan tanaman dalam in vitro yaitu antara 25–28oC.

4.3.5. Multiplikasi Akasia (Acasia sp.)

Multiplikasi merupakan tahap perbanyakan untuk menggandakan propagul atau bahan tanaman seperti tunas, atau embrio serta memeliharanya dalam keadaan tertentu sehingga sewaktu-waktu bisa dilanjutkan untuk tahap berikutnya (Yusnita, 2004).

Multiplikasi dilaksanakan dalam kondisi yang steril, oleh karena itu ruangan tempat kerja harus disterilisasi menggunakan alkohol 70% agar bakteri atau jamur yang menempel pada meja kerja mati. Disamping itu, alat-alat yang digunakan seperti dissecting set, petiridish harus dalam keadaan steril yaitu sebelum digunakan disterilisasi di dalam autoklaf. Alat dan bahan serta tangan dari pekerja harus disemprot terlebih dahulu menggunakan alkohol 70%. Hal ini dimaksudkan supaya tidak terjadi kontaminasi yang disebabkan oleh bakteri atau jamur serta mikroorganisme lain.

Multiplikasi dapat dilakukan dengan melihat beberapa komponen yaitu media sudah menipis sehingga unsur haranya sudah habis, pertumbuhan sudah memenuhi botol dan bila membutuhkan sesuai waktu yang ditentukan. Dalam melakukan multiplikasi dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara yaitu penjarangan untuk anggrek melalui biji, pemecahan (splitting) dan pemotongan (cutting) (Sugito, 2007). Multiplikasi yang dilakukan untuk akasia dengan cara pemotongan ruas-ruas dari tunas-tunas yang muncul kemudian ditanamkan pada media multiplikasi propagul/tabung. Multiplikasi dapat dilakukan secara berulang-ulang sampai dicapai jumlah propagul yang diharapkan tanpa mengorbankan kualitas tunas. Multiplikasi yang terlalu banyak dapat menurunkan mutu tunas seperti terjadinya verifikasi (suatu gejala ketidaknormalan fisiologis) dan aberasi (penyimpangan genetik). Keadaan ini terjadi karena semakin besar multiplikasi dilakukan berarti semakin sering tanaman dikondisikan dalam media yang mengandung sitokinin, sehingga daya regenerasi meningkat. (Yusnita, 2004).

4.3.6. Aklimatisasi

Kendala utama yang umum dijumpai dalam kultur jaringan khususnya pada tanaman hutan adalah bagaimana memindahkan planlet (calon tanaman) dari lingkungan laboratorium ke lapangan (lingkungan eksternal). Aklimatisasi adalah proses pengkondisian planlet atau tunas mikro (jika pengakaran dilakukan secara ex vitro) di lingkungan baru yang aseptik di luar botol, dengan media tanah, atau pakis (anggrek) sehingga planlet dapat bertahan dan terus menjadi bibit yang siap ditanam di lapangan. Prosedur pembiakan dengan kultur jaringan baru bisa dikatakan berhasil jika planlet dapat diaklimatisasi ke kondisi eksternal dengan keberhasilan yang tinggi. Aklimatisasi betujuan untuk mempersiapkan planlet agar siap ditanam di lapangan. Tahap aklimatisasi mutlak dilakukan pada tanaman hasil perbanyakan melalui kultur jaringan karena planlet akan mengalami perubahan fisiologis yang disebabkan oleh faktor lingkungan. Hal ini bisa dipahami karena pembiakan in vitro (dalam botol) semua faktor lingkungan terkontrol sedangkan di lapangan faktor lingkungan sulit terkontrol (Herawan, 2006; Yusnita, 2004).

Media untuk aklimatisasi akasia adalah media campuran tanah top soil, kompos dan pasir. Salah satu ciri media tanam yang baik adalah media tanam yang memiliki struktur gembur sehingga akar tanaman dapat tumbuh dengan baik, karena akar dari tanaman hutan bukan berbentuk akar serabut seperti tanaman hias tetapi memiliki akar tunggang sehingga media tanam yang baik harus mampu menumbuhkan akar dengan baik. Pertumbuhan akar akan sempurna apabila didukung oleh aerase dan drainase media tanam yang baik, sirkulasi dan ketersediaan udara yang memadai sangat dibutuhkan oleh sel-sel akar untuk bernapas. Kekurangan oksigen akan menyebabkan kematian akar (Anonim, 1986 dalam Herawan, 2006). Tanah yang digunakan yaitu tanah yang top soil (tanah bagian teratas) karena mempunyai struktur tanah yang gembur yang di dalamnya terdapat pori-pori yang dapat diisi oleh air tanah dan udara yang sangat penting bagi pertumbuhan akar (Lingga, 1993 dan Herawan, 2006).

Di laboratorium kultur jaringan B2PBPTH perbanyakan akasia melalui teknik Kultur Jaringan baru pada tahap awal yaitu inisiasi tetapi pada umumnya teknik aklimatisasi akasia sama prinsipnya seperti tanaman hutan yang lain yaitu seperti yang dilakukan pada tanaman cendana. Proses aklimatisasi pada akasia harus dilaksanakan dengan hati-hati, terutama dalam mengeluarkan planlet dari botol. Dalam mengeluarkan planlet dari botol dapat digunakan pinset sebagai alat bantu dengan cara hati-hati sehingga akar dari planlet tidak putus. Pada tanaman akasia ini pengakaran dilakukan secara in vitro di dalam botol yaitu pada saat masih di laboratorium. Proses aklimatisasi yang dilakukan pada tanaman akasia dengan cara membersihkan media yang berada pada planlet, hal itu dimaksudkan untuk menghindari pertumbuhan jamur pada planlet, kemudian perendaman fungisida dan penutupan plastik transparan.

Hal itu diungkapkan oleh Marlina dan Rustandi, 2007, dalam penelitiannya bahwa proses aklimatisasi dengan perendaman planlet dalam benomil 1% dan penutupan planlet dengan plastik transparan pada 30 hari pertama sangat berpengaruh terhadap kemampuan beradaptasi. Herawan, 2006, menambahkan bahwa daun planlet yang ditumbuhkan melalui teknik kultur jaringan memiliki sel-sel palisade yang masih kecil dan jumlahnya belum banyak, klorofil yang terbentukpun masih sedikit, sehingga tidak mampu menggunakan cahaya yang terlalu tinggi karena akan berpengaruh buruk terhadap sel-sel tumbuhan tersebut. Selain itu, tanaman hasil perbanyakan melalui teknik kultur jaringan belum mampu menyerap air terlalu banyak ke daun, intensitas cahaya terlalu tinggi akan menyebabkan terjadinya kenaikan temperatur daun. Kenaikan temperatur daun akan meningkatkan transpirasi, transpirasi yang terlalu besar yang tidak diimbangi dengan penyerapan air yang cukup mengakibatkan kandungan air dalam sel berkurang sehingga sel-sel penutup kehilangan turgornya dan stomata akan menutup dan akan menyebabkan turunnya fotosintesis sehingga pertumbuhan terhambat lalu akan mati.

Kompos digunakan sebagai media aklimatisasi karena dapat mempengaruhi kesuburan tanah terutama pada sifat fisik tanah dengan cara memperbaiki struktur, tekstur dan peningkatan porositas tanah. Selain itu kompos juga mampu menyediakan unsur hara seperti N, P, K, Mg, Fe, Mn, S dan Cu sehingga memperbaiki sifat kimia tanah (Suryadi, 1989 dalam Herawan, 2006). Media pasir digunakan karena media tersebut cukup baik untuk dipakai sebagai media pertumbuhan akar karena sifatnya mudah basah dan cepat kering.

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Akasia (Acasia sp.) merupakan tanaman yang mampu tumbuh dengan cepat pada tanah marginal serta kayunya dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Akasia merupakan tanaman kayu yang dapat mencapai diameter cukup besar apabila telah mencapai umur tertentu. Tanaman akasia dapat tumbuh pada sebaran kondisi iklim yang sangat luas, dengan demikian dapat tumbuh dengan baik hampir di sembarang tempat. Sebagai salah satu tanaman yang cepat tumbuh, tanaman akasia telah banyak tersebar diseluruh pulau di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.

Dari Tabel 2 dapat ditunjukkan bahwa selama 36 hari dari waktu penanaman, kematian eksplan akibat terkontaminasi jamur lebih tinggi (55-100%) dibandingkan bakteri (25-45%). Hal ini dapat terjadi karena jamur lebih menyukai lingkungan mikro dengan tingkat pH yang cenderung lebih rendah (asam) dibandingkan bakteri. Media yang dipergunakan untuk kultur akasia ini pada kisaran pH 5,7 sehingga pertumbuhan jamur menjadi lebih tinggi. Dengan demikian nutrisi kultur lebih banyak diserap oleh jamur dibandingkan eksplan. Di samping itu jamur dapat mengeluarkan metabolit yang dapat bersifat meracun pada eksplan. Secara anatomis jamur juga dapat merusak jaringan eksplan.

Selain itu pengaruh tumbuhnya jamur juga dapat disebabkan oleh waktu dan cara pengambilan eksplan. Waktu pengambilan eksplan juga dipengaruhi oleh iklim mikro yang berbeda. Sedangkan cara pengambilan eksplan dapat mempengaruhi karena proses pengambilan eksplan yang dilakukan yaitu eksplan langsung diambil dari lapangan yang dapat dimungkinkan jamur sudah tumbuh pada jaringan paling dalam pada tanaman, sehingga sterilisasi permukaan yang dilakukan tidak cukup untuk membunuh jamur.

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan penyiapan materi di green house sebelum dilakukan inisiasi.

2. Pengamatan ini belum menunjukan hasil yang memuaskan masih banyak kekurangannya, dikarenakan waktu yang diberikan terbatas sehingga Penulis belum dapat memberikan hasil yang memuaskan.

3. Sebelum eksplan Acasia sp digunakan sebagai eksplan, hendaklah dipilih eksplan yang benar-benar diketahui kualitasnya sehingga diharapkan eksplan tersebut selama pengamatan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik

DAFTAR PUSTAKA

Herawan, T dan Hendarti, R. 1996. Teknik Kegiatan Kultur Jaringan.

Yogyakarta : Puslitbang Bioteknologi.

Soesono, H. 1985. Diktat Pemuliaan Tanaman Hutan. Fakultas

Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

PPPPTK Pertanian. 2008. Panduan KEGIATAN Mahasiswa Program Pendidikan Diploma IV VEDCA Agribisnis Pertanian Manajemen Agrondustri. Cianjur: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pertanian.

Sugito, H. 2007. Bahan Kuliah Kultur Jaringan Tanaman. Cianjur: PPPPTK Pertanian. Tidak dipublikasikan.

Daisy, P. S. H dan Wijayanti, Ari. 1994. Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman secara modern. Kanisus, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gabung Yu..cari tau tentang kultur Jaringan..